KETIKA TUHAN SUDAH MENGHENDAKI
Bagi seorang
remaja yang hidup di perkotaan, perintah dan kewajiban mengenakan hijab bagi
seorang muslimah adalah hal yang paling berat. Namun, ketika Sang Pencipta
sudah memberi hidayah, manusia tidak akan bisa menolak kedatangannya. Begitu
juga yang dirasakan oleh Putri. Tuhan telah memberikannya hidayah untuk
berhijab dan menjadi seorang wanita muslimah seutuhnya. Namun, dia harus
berjuang melawan perasaannya sendiri. Rasa malu yang dalam menjadi kendala saat
dia mulai ingin keluar dengan menutup auratnya seperti layaknya wanita muslimah
pada umumnya. Meski hati kecilnya terus mendorongnya untuk mewujudkan niatnya,
tapi godaan yang dihadapinya begitu berat termasuk melawan dirinya sendiri.
Sampai
suatu hari ketika dia sedang asyik menonton televisi, dengan tidak sengaja dia
menyetel saluran televisi islam yang sedang menyiarkan keistimewaan seorang
wanita muslimah yang menutup auratnya dan beberapa contoh hijab yang bisa
digunakan di mana saja dengan indahnya tanpa mengurangi kecantikan pemakainya.
Hatinya menjadi yakin dan dia mulai mencoba beberapa lembar kerudung yang telah
dibelinya beberapa hari sebelumnya di kamar tidur pribadinya. Pintu kamar
dikuncinya rapat-rapat agar tidak satu orang pun yang melihat dia sedang
mengenakan hijab.
“Subhanallah,
ternyata nyaman kalau kita mengenakan jilbab dan kerudung ini. Hati terasa
tenang, wajah terasa teduh dan tubuh terasa ringan. Aku akan memakai hijab ini
kemanapun Aku pergi walau keluar kamar sekalipun,” gumamnya dalam hati.
Sejak
hari itu, Putri mulai memakai hijab kemanapun dia keluar, tidak terkecuali
untuk pergi kuliah ke kampus. Teman-temannya mulai mengejek dan mencemoohnya.
Cemohan yang paling berat datang dari Sari, teman akrabnya selama ini. Teman
yang biasa menemaninya ke mana pun. Teman yang suka mengajaknya pergi
foyah-foyah bersama yang lainnya. Sekarang, Sari juga lah yang paling sering
mengejeknya bahkan lewat SMS.
Putri
memang seorang mahasiswi yang suka memakai pakaian yang mini, termasuk untuk ke
kampus. Apalagi dia kuliah di Jurusan Ekonomi Akutansi yang mesunahkan
mahasiswanya memakai pakaian yang harus mengikuti trend di dunia fashion. Hari-harinya dihabiskan hanya
untuk pergi ke mall dengan
teman-temannya, dan kegiatan foyah-foyah lainnya untuk menghabiskan uang orang
tua. Tidak ada hari tanpa barang baru yang wajib digaet. Hidupnya serba
duniawi, tidak ada sedikitpun dia mengingat Tuhannya. Dia juga tidak sembarang
dalam memilih teman. Orang yang menjadi temannya harus yang satu tingkat dengan
dia dari sisi materi. Termasuk Sari sendiri yang merupakan seorang anak kepala
Kejaksaan Tinggi di Sulawesi Tenggara. Mereka selalu bersama dari sejak masuk
kuliah sampai ketika Sari tidak lagi mau menerima Putri yang telah berubah 3600
dari sebelumnya.
Sekarang
Putri memakai hijab saat ke kampus dan dia menjadi bahan ejekan karena
penampilannya yang berbanding terbalik dari sebelumnya. Tidak satu dua orang
yang memperlakukannya seolah-olah dia tidak ada bersama mereka. Dan tidak satu
atau dua orang juga yang mengatainya sedang sakit.
“Putri,
kesambar angin apa kamu? Kenapa tiba-tiba seperti ini? Kamu amnesia
sampai-sampai kamu lupa siapa kamu sebenarnya? Kamu sadar dengan penampilan
kamu yang sekarang, atau kamu lupa ya dimana kamu sekarang?” tanya Widia, salah
satu teman kelasnya.
“Iya
Put, kamu kenapa tiba-tiba seperti ini? Sekarang juga kamu sudah jarang jalan
sama kita-kita ke mall, gabung sama
kita saja kamu sudah tidak pernah, katanya teman tapi kok lihat kita kaya lihat
sampah yang tidak berharga,” tambah Sari yang terlihat kecewa dengan Putri.
“Tidak
begitu teman-teman. Aku hanya mengikuti kata hatiku yang sebenarnya dan yang
paling dalam. Aku tidak bisa lagi hidup dalam duniaku yang dulu, dunia yang
gelap dan penuh dengan kesesatan,” Putri mencoba membela diri.
“Jadi,
maksud kamu Aku dan Widia itu teman yang menyesatkan sehingga kamu mulai
menjauhi kami sekarang? Atau kami ini sama seperti teman yang harus dibuang
jauh-jauh dari hidup kamu? Itu maksud kamu, Put?” Sari kembali memojokkan Putri
dengan pertanyaan-pertanyaannya.
“Bukan
begitu maksud Aku, Sar. Aku tidak pernah menganggap kalian…” Putri kembali
menjawab tuduhan Sari, tapi kata-katanya dihentikan oleh Widia.
“Sudah
deh Put. Kamu tidak usah lagi bela diri kamu. Aku dan Sari sudah tahu siapa
kamu sebenarnya. Kamu tidak setia kawan Put,” imbuh Widia yang tidak membiarkan
Putri membela diri kembali.
Sejak
saat itu, Sari dan Widia tidak lagi menegur Putri bahkan ketika mereka sedang
duduk bersama-sama. Sari dan Widia seperti jijik melihat Putri. Jangankan
menegur, melihat Putri saja seakan tidak sudi. Ketika mereka berpas-pasan di
jalan, maka Sari atau Widia akan segera memalingkan muka mereka ke tempat lain.
Perlakuan teman-temannya benar-benar membuat Putri merasa tidak nyaman dan
merasa sendiri. Sekarang dia banyak menghabiskan waktunya untuk membaca
buku-buku kerohanian di Mushala kampus. Setiap memiliki waktu senggang, dia
lebih memilih duduk sendiri di mushala sambil menambah ilmu agamanya dengan
membaca buku kerohanian dan sedikit berdiskusi dengan teman-teman yang menjadi
anggota Mahasiswa Pecinta Mushala. Namun, Putri masih pendiam dan tidak terlalu
banyak bicara karena belum terlalu banyak mengenal teman-teman yang bisa
diajaknya untuk berbicara dengannya. Seiring berjalannya waktu Putri bisa
beradaptasi dengan baik dengan Ukhti-ukhti lainnya. Dia mendapatkan apa yang
dibutuhkannya sebagai seorang wanita muslimah dan juga sebagai seorang
mahasiswa dia mendapatkan ilmu tersendiri bagi dirinya.
Selain
wawasan yang didapatkannya di mushala, Putri juga mendapatkan seorang teman
yang baik dan tutur katanya lembut juga halus. Aisyah namanya. Perkenalannya
dengan Aisyah berawal dari sebuah diskusi kecil-kecilan dengan anggota MPM yang
menurut Putri banyak mengetahui apa yang dibutuhkannya. Dia selalu
memperhatikan Aisyah yang selalu aktif bertanya dan menjawab dalam diskusi itu.
Setelah diskusi selesai, Putri memberanikan diri mengajak Aisyah berkenalan.
Sejak itulah hubungan keduanya menjadi dekat sebagai seorang sahabat meskipun
mereka berbeda jurusan.
Kebiasaan
baru Putri yang selalu menghabiskan waktunya di mushala membuat Sari
benar-benar menjadi seorang wanita yang egois. Dia sering memprofokasi teman-temannya
untuk membenci dan mengolok-olok Putri. Tidak hanya itu, Sari juga nekat
memprofokasi kedua orang tua Putri. Sari memanfaatkan kedekatannya dengan orang
tua Putri untuk mengisi pemikiran yang jelek tentang kebiasaan baru Putri di
kampus. Apa lagi, dia tahu betul bagaimana karakter orang tua Putri yang sangat
menentang ketika tahu bahwa Putri kini ke kampus dengan mengenakan hijab.
Memang selama ini mereka tidak tahu bahwa Putri selalu keluar dengan memakai
hijab. Putri akan berada di rumah ketika orang tuanya belum pulang dan akan
meninggalkan rumah ketika mereka sedang tidur atau sudah berangkat ke kantor.
Dia belum siap menghadapi orang tuanya jika mereka tahu perubahannya yang
sekarang. Selama satu bulan ini dia bermain petak umpet dengan orang tuanya.
Dan sekarang, Sari, sahabatnya yang membuatnya ketahuan dan harus siap
menghadapi kedua orang tuanya.
Putri
kaget begitu pulang dari kampus pada sore itu, orang tuanya sudah berada di
rumah dan sedang menuggu Putri di ruang tamu. Mata mereka terbelalak ketika
mendapatkan Putri yang jauh berbeda dengan dirinya yang dulu. Dia mencoba
meraih tangan kedua orang tuanya untuk mencium tangan mereka, namun ditepisnya.
“Sudah,
nda usah pake cium tangan segala. Mama nda menyangka, anak mama yang selalu
tampil cantik dengan pakaian-pakaian mewahnya sekarang tampil norak dan jelek
seperti ini. Mama kecewa sama kamu Put,” mamanya terlihat sedih dan kecewa
dengan perubahan Putri.
“Kamu
tahu sendiri kan bagaimana persepsi orang terhadap perempuan yang selalu tampil
tertutup seperti ini? Kamu juga tahu papa dan mama menentang hal ini dan kami
tidak suka kalau kamu memakai jilbab dan baju daster seperti ibu-ibu hamil
seperti itu,” papanya ikut menyerang Putri dengan pertanyaan.
“Tapi,
Putri nyaman dan baik-baik saja dengan pakaian seperti ini. Putri juga tidak
apa-apa kalau dikatakan ibu-ibu hamil, yang penting kan Putri tidak seperti apa
yang dibilang orang dan Putri akan tetap seperti ini. Putri senang jika
akhirnya papa dan mama tahu Putri sekarang gimana. Jadi, Putri tidak perlu main
petak kumpet lagi dengan papa dan mama,” Putri mencoba membela diri yang justru
membuat ayahnya menjadi lepas kontrol. Tangannya diacungkan dan menampar pipi
halus Putri.
”Kamu
benar-benar tidak tahu diri. Tidak menghargai dan menghormati orang tua. Apa
ini yang diajarkan agamamu bahwa kamu harus menentang orang tua yang sudah
membesarkanmu seperti ini? Kamu tetap tidak mau melepaskan jilbab kamu itu?”
tanya ayahnya mempertegas penolakannya terhadap Putri.
“Maafkan
Putri Pa, tapi Putri tidak bisa melepaskan jilbab Putri. Mesikpun Putri harus
pergi dari rumah ini dan semua fasilitas Putri disita, Putri rela. Tapi ijinkan
Putri tetap memiliki Hp yang papa belikan agar Putri bisa berkomunikasi dengan
teman-teman Putri,” Putri pasrah menerima keputusan yang akan diambil papanya.
“Baik
kalau itu keputusanmu, Papa tidak akan menghalanginya. Tapi, kamu harus pergi
dari rumah ini dan semester depan kamu tidak usah melanjutkan kuliahmu. Papa
tidak akan lagi memberikan sepeser pun untuk membiayai hidup dan kuliah mu.
Putri papa sudah meninggal sejak hari ini. Camkan itu Put dan pergi sekarang
juga dari rumah ini,” ayahnya mengambil keputusan yang sudah Putri terima sebelumnya.
Sekarang,
Putri tidak tahu harus kemana lagi. Dia tidak bisa tinggal di rumahnya karena
telah diusir oleh papanya. Dia tahu betul karakter ayahnya yang keras dan tidak
bisa dibantah. Keputusan yang diambilnya tidak bisa dibantah oleh siapapun
termasuk Putri. Putri benar-benar tidak menyangka ayahnya akan mengusirnya
karena masalah seperti ini. Belum lagi dia pergi tanpa membawa uang sepeser pun
karena semua fasilitasnya disita kecuali hp dan juga dia tidak memiliki sanak
saudara yang mau mengijinkannya tinggal atau sahabat yang mau menerimanya,
kecuali Aisyah. Namun, tekad untuk mempertahankan hijab dan dirinya sebagai
seorang muslimah tidak goyah meskipun harus rela diusir oleh orang tuanya. Dia
selalu berdoa semoga papa mamanya mendapat hidayah dari Allah swt.
sehingga tidak lagi melarang Putri
memakai hijab.
Sekarang
Putri tinggal di kamar kos Aisyah dan menjalani hidupnya yang apa adanya.
Kadang dia tidak makan dalam sehari karena persediaan beras di kamar Aisyah
tidak selancar di rumahnya. Aisyah memang tidak sekaya Putri, sehingga untuk
makan sehari dia harus menghemat. Meksipun begitu, Putri tetap bersyukur dan
menjalani hidupnya dengan nyaman. Dia tetap pergi ke kampus seperti biasanya
dan mendapatkan ejekan yang lebih sakit dari sebelumnya. Putri menerima semua
ejekan itu dan membalasnya dengan doa dan senyuman. Semoga teman-temannya
mendapat hidayah seperti dirinya dan mau menerima Putri menjadi teman mereka
lagi.
Ketika
suatu malam, Putri bermimpi melihat orang tuanya memakai pakaian baru yang
serba putih dan sedang tersenyum menatap Putri. Dia berdoa semoga mimpi itu
menjadi pertanda bahwa orang tuanya sudah mendapat hidayah dari Tuhan dan pintu
hati mereka dibukakan. Sebagai seorang anak, Putri sangat merindukan kedua
orang tuanya. Tapi dia tidak memberanikan diri untuk menelpon apalagi menemui
keduanya. Dia hanya melepaskan kerinduannya dengan menatap foto keluarga yang
sempat diambilnya ketika hendak pergi dari rumah. Sudah satu bulan lebih Putri
meninggalkan rumah dan tinggal bersama Aisyah yang artinya sudah satu bulan
lebih juga dia tidak mendengar suara dan melihat orang tuanya.
Hari
itu, Putri berangkat ke kampus seperti biasa dengan berjalan kaki. Kamar kos
Aisyah memang tidak begitu jauh ke kampus, hanya membutuhkan waktu 10 menit
perjalanan. Ketika tiba di kampus, Widia menemuinya di gerbang dan menyuruhnya
untuk ke kantor kepala jurusan. Putri merasa tidak melakukan kesalahan apa pun, tapi mengapa pagi-pagi begini sudah
disuruh menghadap di ruang kepala jurusan.
“Apa
mungkin ini berhubungan dengan kuliahku yang harus berhenti semester ini karena
papa tidak lagi membiayai kuliahku,” pikir Putri sebelum ke ruang kepala
jurusan.
Dia
memberanikan diri menghadap ke ruang kepala jurusan yang terkenal galak itu.
Ketika di sana, Putri mendapati kedua orang tuanya yang sedang berbicara dengan
kepala jurusan. Baru diketahui Putri, bahwa kepala jurusannya adalah sepupu
kedua kali dari mamanya yang berarti paman Putri. Dia juga kaget melihat
mamanya kini tampil dengan memakai hijab kantoran yang artinya mamanya juga
sudah memakai jilbab.
“Jadi,
Pak Santoso itu paman Putri? Tapi kenapa Papa dan Mama tidak pernah cerita,
lalu mengapa papa dan mama ada di sini sekarang?” Putri bertanya pada dirinya
sendiri.
“Silahkan masuk Put. Bapak memanggilmu kemari
atas perintah dari orang tuamu. Mereka ingin bicara denganmu dan mengajakmu
pulang tanpa harus mengorbankan perasaanmu. Bapak sudah mendengar semua dari
mereka. Kamu tidak usah takut, masuk saja,” tiba-tiba, suara Pak Santoso
membuyarkan lamunan Putri.
“Iya
Put. Mama dan Papa sudah menceritakan semuanya. Sekarang kami ingin membawa
kamu pulang dan tinggal lagi bersama kami tanpa kamu harus melepaskan dan
mengubah penampilan kamu,” mamanya menyatakan maksud kedatangan mereka.
“Iya
sayang. Maafkan kekhilafan papa yang telah mengusirmu. Mata hati Papa saat itu
sudah dibutakan oleh setan. Sekarang Papa tidak masalah dengan penampilan kamu.
Bagi Papa, kamu tetap Putri Papa, yang cantiknya tidak hanya di luar tetapi
juga di dalam. Sekarang kamu bisa tinggal lagi di rumah dan melanjutkan
kuliahmu seperti biasanya,” ayahnya menyambung pebicaraan mama Putri.
“Makasih
Ma, Pa. Tapi jika nanti Putri pulang, izinkan Putri mengajak Aisyah tinggal di
rumah kita. Dia yang sudah menjaga Putri selama sebulan ini, boleh?” Putri
menatap kedua orang tuanya.
“Tentu
boleh sayang,” jawab kedua orang tuanya serentak.
Sekarang
Putri sudah mendapatkan kehidupannya kembali dengan tetap menjadi dirinya
sendiri. Dia mendapatkan orang tua dan teman-temannya kembali. Teman-teman di
kampus kini sudah menerima Putri seperti dulu, tidak terkecuali Sari dan Widia.
Kini mereka pun sudah terlihat sering di mushala dan sudah berhijab. Apa yang
diinginkan dan dicita-citakan Putri menjadi kenyataan.
Kebahagiaan
kedua orang tua, sahabat dan Putri sendiri tidak berlangsung lama. Sebulan
setelah kembali ke rumahnya, Putri meninggal dalam sebuah kecelakaan motor yang
dialaminya. Saat itu dia sedang menyebrang jalan ke kampus, tiba-tiba saja ada
sebuah sepeda motor yang melaju dengan cepat dan menabrak Putri yang saat itu
sedang membaca buku sambil berjalan. Putri meninggal seketika itu juga. Kini
Putri telah berpulang ke sisi Tuhan yang Maha Penyayang. Dia dipanggil setelah
mendapatkan hidayah dan menemukan jati dirinya sebagai seorang muslimah. Namun,
namanya akan tetap hidup di hati orang-orang di sekitarnya, orang tua, sahabat
dan teman-temannya. Kepergiannya membuat kami merasa sangat kehilangan.
Kelembutan dan ketulusan cintanya mampu menciptakan hidup yang nyaman bagi
orang-orang yang sangat dicintainya. Semoga Putri dapat tersenyum bahagia di
sisi Tuhan yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Amin.
Dari
Nur Aisyah
Tidak ada komentar:
Posting Komentar