Rabu, 11 Juni 2014

contoh cerpen, dewi retno


KETIKA TUHAN SUDAH MENGHENDAKI
Bagi seorang remaja yang hidup di perkotaan, perintah dan kewajiban mengenakan hijab bagi seorang muslimah adalah hal yang paling berat. Namun, ketika Sang Pencipta sudah memberi hidayah, manusia tidak akan bisa menolak kedatangannya. Begitu juga yang dirasakan oleh Putri. Tuhan telah memberikannya hidayah untuk berhijab dan menjadi seorang wanita muslimah seutuhnya. Namun, dia harus berjuang melawan perasaannya sendiri. Rasa malu yang dalam menjadi kendala saat dia mulai ingin keluar dengan menutup auratnya seperti layaknya wanita muslimah pada umumnya. Meski hati kecilnya terus mendorongnya untuk mewujudkan niatnya, tapi godaan yang dihadapinya begitu berat termasuk melawan dirinya sendiri.
Sampai suatu hari ketika dia sedang asyik menonton televisi, dengan tidak sengaja dia menyetel saluran televisi islam yang sedang menyiarkan keistimewaan seorang wanita muslimah yang menutup auratnya dan beberapa contoh hijab yang bisa digunakan di mana saja dengan indahnya tanpa mengurangi kecantikan pemakainya. Hatinya menjadi yakin dan dia mulai mencoba beberapa lembar kerudung yang telah dibelinya beberapa hari sebelumnya di kamar tidur pribadinya. Pintu kamar dikuncinya rapat-rapat agar tidak satu orang pun yang melihat dia sedang mengenakan hijab.
“Subhanallah, ternyata nyaman kalau kita mengenakan jilbab dan kerudung ini. Hati terasa tenang, wajah terasa teduh dan tubuh terasa ringan. Aku akan memakai hijab ini kemanapun Aku pergi walau keluar kamar sekalipun,” gumamnya dalam hati.
Sejak hari itu, Putri mulai memakai hijab kemanapun dia keluar, tidak terkecuali untuk pergi kuliah ke kampus. Teman-temannya mulai mengejek dan mencemoohnya. Cemohan yang paling berat datang dari Sari, teman akrabnya selama ini. Teman yang biasa menemaninya ke mana pun. Teman yang suka mengajaknya pergi foyah-foyah bersama yang lainnya. Sekarang, Sari juga lah yang paling sering mengejeknya bahkan lewat SMS.
Putri memang seorang mahasiswi yang suka memakai pakaian yang mini, termasuk untuk ke kampus. Apalagi dia kuliah di Jurusan Ekonomi Akutansi yang mesunahkan mahasiswanya memakai pakaian yang harus mengikuti trend di dunia fashion. Hari-harinya dihabiskan hanya untuk pergi ke mall dengan teman-temannya, dan kegiatan foyah-foyah lainnya untuk menghabiskan uang orang tua. Tidak ada hari tanpa barang baru yang wajib digaet. Hidupnya serba duniawi, tidak ada sedikitpun dia mengingat Tuhannya. Dia juga tidak sembarang dalam memilih teman. Orang yang menjadi temannya harus yang satu tingkat dengan dia dari sisi materi. Termasuk Sari sendiri yang merupakan seorang anak kepala Kejaksaan Tinggi di Sulawesi Tenggara. Mereka selalu bersama dari sejak masuk kuliah sampai ketika Sari tidak lagi mau menerima Putri yang telah berubah 3600 dari sebelumnya.
Sekarang Putri memakai hijab saat ke kampus dan dia menjadi bahan ejekan karena penampilannya yang berbanding terbalik dari sebelumnya. Tidak satu dua orang yang memperlakukannya seolah-olah dia tidak ada bersama mereka. Dan tidak satu atau dua orang juga yang mengatainya sedang sakit.
“Putri, kesambar angin apa kamu? Kenapa tiba-tiba seperti ini? Kamu amnesia sampai-sampai kamu lupa siapa kamu sebenarnya? Kamu sadar dengan penampilan kamu yang sekarang, atau kamu lupa ya dimana kamu sekarang?” tanya Widia, salah satu teman kelasnya.
“Iya Put, kamu kenapa tiba-tiba seperti ini? Sekarang juga kamu sudah jarang jalan sama kita-kita ke mall, gabung sama kita saja kamu sudah tidak pernah, katanya teman tapi kok lihat kita kaya lihat sampah yang tidak berharga,” tambah Sari yang terlihat kecewa dengan Putri.
“Tidak begitu teman-teman. Aku hanya mengikuti kata hatiku yang sebenarnya dan yang paling dalam. Aku tidak bisa lagi hidup dalam duniaku yang dulu, dunia yang gelap dan penuh dengan kesesatan,” Putri mencoba membela diri.
“Jadi, maksud kamu Aku dan Widia itu teman yang menyesatkan sehingga kamu mulai menjauhi kami sekarang? Atau kami ini sama seperti teman yang harus dibuang jauh-jauh dari hidup kamu? Itu maksud kamu, Put?” Sari kembali memojokkan Putri dengan pertanyaan-pertanyaannya.
“Bukan begitu maksud Aku, Sar. Aku tidak pernah menganggap kalian…” Putri kembali menjawab tuduhan Sari, tapi kata-katanya dihentikan oleh Widia.
“Sudah deh Put. Kamu tidak usah lagi bela diri kamu. Aku dan Sari sudah tahu siapa kamu sebenarnya. Kamu tidak setia kawan Put,” imbuh Widia yang tidak membiarkan Putri membela diri kembali.
Sejak saat itu, Sari dan Widia tidak lagi menegur Putri bahkan ketika mereka sedang duduk bersama-sama. Sari dan Widia seperti jijik melihat Putri. Jangankan menegur, melihat Putri saja seakan tidak sudi. Ketika mereka berpas-pasan di jalan, maka Sari atau Widia akan segera memalingkan muka mereka ke tempat lain. Perlakuan teman-temannya benar-benar membuat Putri merasa tidak nyaman dan merasa sendiri. Sekarang dia banyak menghabiskan waktunya untuk membaca buku-buku kerohanian di Mushala kampus. Setiap memiliki waktu senggang, dia lebih memilih duduk sendiri di mushala sambil menambah ilmu agamanya dengan membaca buku kerohanian dan sedikit berdiskusi dengan teman-teman yang menjadi anggota Mahasiswa Pecinta Mushala. Namun, Putri masih pendiam dan tidak terlalu banyak bicara karena belum terlalu banyak mengenal teman-teman yang bisa diajaknya untuk berbicara dengannya. Seiring berjalannya waktu Putri bisa beradaptasi dengan baik dengan Ukhti-ukhti lainnya. Dia mendapatkan apa yang dibutuhkannya sebagai seorang wanita muslimah dan juga sebagai seorang mahasiswa dia mendapatkan ilmu tersendiri bagi dirinya.
Selain wawasan yang didapatkannya di mushala, Putri juga mendapatkan seorang teman yang baik dan tutur katanya lembut juga halus. Aisyah namanya. Perkenalannya dengan Aisyah berawal dari sebuah diskusi kecil-kecilan dengan anggota MPM yang menurut Putri banyak mengetahui apa yang dibutuhkannya. Dia selalu memperhatikan Aisyah yang selalu aktif bertanya dan menjawab dalam diskusi itu. Setelah diskusi selesai, Putri memberanikan diri mengajak Aisyah berkenalan. Sejak itulah hubungan keduanya menjadi dekat sebagai seorang sahabat meskipun mereka berbeda jurusan.
Kebiasaan baru Putri yang selalu menghabiskan waktunya di mushala membuat Sari benar-benar menjadi seorang wanita yang egois. Dia sering memprofokasi teman-temannya untuk membenci dan mengolok-olok Putri. Tidak hanya itu, Sari juga nekat memprofokasi kedua orang tua Putri. Sari memanfaatkan kedekatannya dengan orang tua Putri untuk mengisi pemikiran yang jelek tentang kebiasaan baru Putri di kampus. Apa lagi, dia tahu betul bagaimana karakter orang tua Putri yang sangat menentang ketika tahu bahwa Putri kini ke kampus dengan mengenakan hijab. Memang selama ini mereka tidak tahu bahwa Putri selalu keluar dengan memakai hijab. Putri akan berada di rumah ketika orang tuanya belum pulang dan akan meninggalkan rumah ketika mereka sedang tidur atau sudah berangkat ke kantor. Dia belum siap menghadapi orang tuanya jika mereka tahu perubahannya yang sekarang. Selama satu bulan ini dia bermain petak umpet dengan orang tuanya. Dan sekarang, Sari, sahabatnya yang membuatnya ketahuan dan harus siap menghadapi kedua orang tuanya.
Putri kaget begitu pulang dari kampus pada sore itu, orang tuanya sudah berada di rumah dan sedang menuggu Putri di ruang tamu. Mata mereka terbelalak ketika mendapatkan Putri yang jauh berbeda dengan dirinya yang dulu. Dia mencoba meraih tangan kedua orang tuanya untuk mencium tangan mereka, namun ditepisnya.
“Sudah, nda usah pake cium tangan segala. Mama nda menyangka, anak mama yang selalu tampil cantik dengan pakaian-pakaian mewahnya sekarang tampil norak dan jelek seperti ini. Mama kecewa sama kamu Put,” mamanya terlihat sedih dan kecewa dengan perubahan Putri.
“Kamu tahu sendiri kan bagaimana persepsi orang terhadap perempuan yang selalu tampil tertutup seperti ini? Kamu juga tahu papa dan mama menentang hal ini dan kami tidak suka kalau kamu memakai jilbab dan baju daster seperti ibu-ibu hamil seperti itu,” papanya ikut menyerang Putri dengan pertanyaan.
“Tapi, Putri nyaman dan baik-baik saja dengan pakaian seperti ini. Putri juga tidak apa-apa kalau dikatakan ibu-ibu hamil, yang penting kan Putri tidak seperti apa yang dibilang orang dan Putri akan tetap seperti ini. Putri senang jika akhirnya papa dan mama tahu Putri sekarang gimana. Jadi, Putri tidak perlu main petak kumpet lagi dengan papa dan mama,” Putri mencoba membela diri yang justru membuat ayahnya menjadi lepas kontrol. Tangannya diacungkan dan menampar pipi halus Putri.
”Kamu benar-benar tidak tahu diri. Tidak menghargai dan menghormati orang tua. Apa ini yang diajarkan agamamu bahwa kamu harus menentang orang tua yang sudah membesarkanmu seperti ini? Kamu tetap tidak mau melepaskan jilbab kamu itu?” tanya ayahnya mempertegas penolakannya terhadap Putri.
“Maafkan Putri Pa, tapi Putri tidak bisa melepaskan jilbab Putri. Mesikpun Putri harus pergi dari rumah ini dan semua fasilitas Putri disita, Putri rela. Tapi ijinkan Putri tetap memiliki Hp yang papa belikan agar Putri bisa berkomunikasi dengan teman-teman Putri,” Putri pasrah menerima keputusan yang akan diambil papanya.
“Baik kalau itu keputusanmu, Papa tidak akan menghalanginya. Tapi, kamu harus pergi dari rumah ini dan semester depan kamu tidak usah melanjutkan kuliahmu. Papa tidak akan lagi memberikan sepeser pun untuk membiayai hidup dan kuliah mu. Putri papa sudah meninggal sejak hari ini. Camkan itu Put dan pergi sekarang juga dari rumah ini,” ayahnya mengambil keputusan yang sudah Putri terima sebelumnya.
Sekarang, Putri tidak tahu harus kemana lagi. Dia tidak bisa tinggal di rumahnya karena telah diusir oleh papanya. Dia tahu betul karakter ayahnya yang keras dan tidak bisa dibantah. Keputusan yang diambilnya tidak bisa dibantah oleh siapapun termasuk Putri. Putri benar-benar tidak menyangka ayahnya akan mengusirnya karena masalah seperti ini. Belum lagi dia pergi tanpa membawa uang sepeser pun karena semua fasilitasnya disita kecuali hp dan juga dia tidak memiliki sanak saudara yang mau mengijinkannya tinggal atau sahabat yang mau menerimanya, kecuali Aisyah. Namun, tekad untuk mempertahankan hijab dan dirinya sebagai seorang muslimah tidak goyah meskipun harus rela diusir oleh orang tuanya. Dia selalu berdoa semoga papa mamanya mendapat hidayah dari Allah swt. sehingga  tidak lagi melarang Putri memakai hijab.
Sekarang Putri tinggal di kamar kos Aisyah dan menjalani hidupnya yang apa adanya. Kadang dia tidak makan dalam sehari karena persediaan beras di kamar Aisyah tidak selancar di rumahnya. Aisyah memang tidak sekaya Putri, sehingga untuk makan sehari dia harus menghemat. Meksipun begitu, Putri tetap bersyukur dan menjalani hidupnya dengan nyaman. Dia tetap pergi ke kampus seperti biasanya dan mendapatkan ejekan yang lebih sakit dari sebelumnya. Putri menerima semua ejekan itu dan membalasnya dengan doa dan senyuman. Semoga teman-temannya mendapat hidayah seperti dirinya dan mau menerima Putri menjadi teman mereka lagi.
Ketika suatu malam, Putri bermimpi melihat orang tuanya memakai pakaian baru yang serba putih dan sedang tersenyum menatap Putri. Dia berdoa semoga mimpi itu menjadi pertanda bahwa orang tuanya sudah mendapat hidayah dari Tuhan dan pintu hati mereka dibukakan. Sebagai seorang anak, Putri sangat merindukan kedua orang tuanya. Tapi dia tidak memberanikan diri untuk menelpon apalagi menemui keduanya. Dia hanya melepaskan kerinduannya dengan menatap foto keluarga yang sempat diambilnya ketika hendak pergi dari rumah. Sudah satu bulan lebih Putri meninggalkan rumah dan tinggal bersama Aisyah yang artinya sudah satu bulan lebih juga dia tidak mendengar suara dan melihat orang tuanya.
Hari itu, Putri berangkat ke kampus seperti biasa dengan berjalan kaki. Kamar kos Aisyah memang tidak begitu jauh ke kampus, hanya membutuhkan waktu 10 menit perjalanan. Ketika tiba di kampus, Widia menemuinya di gerbang dan menyuruhnya untuk ke kantor kepala jurusan. Putri merasa tidak melakukan kesalahan apa  pun, tapi mengapa pagi-pagi begini sudah disuruh menghadap di ruang kepala jurusan.
“Apa mungkin ini berhubungan dengan kuliahku yang harus berhenti semester ini karena papa tidak lagi membiayai kuliahku,” pikir Putri sebelum ke ruang kepala jurusan.
Dia memberanikan diri menghadap ke ruang kepala jurusan yang terkenal galak itu. Ketika di sana, Putri mendapati kedua orang tuanya yang sedang berbicara dengan kepala jurusan. Baru diketahui Putri, bahwa kepala jurusannya adalah sepupu kedua kali dari mamanya yang berarti paman Putri. Dia juga kaget melihat mamanya kini tampil dengan memakai hijab kantoran yang artinya mamanya juga sudah memakai jilbab.
“Jadi, Pak Santoso itu paman Putri? Tapi kenapa Papa dan Mama tidak pernah cerita, lalu mengapa papa dan mama ada di sini sekarang?” Putri bertanya pada dirinya sendiri.
 “Silahkan masuk Put. Bapak memanggilmu kemari atas perintah dari orang tuamu. Mereka ingin bicara denganmu dan mengajakmu pulang tanpa harus mengorbankan perasaanmu. Bapak sudah mendengar semua dari mereka. Kamu tidak usah takut, masuk saja,” tiba-tiba, suara Pak Santoso membuyarkan lamunan Putri.
“Iya Put. Mama dan Papa sudah menceritakan semuanya. Sekarang kami ingin membawa kamu pulang dan tinggal lagi bersama kami tanpa kamu harus melepaskan dan mengubah penampilan kamu,” mamanya menyatakan maksud kedatangan mereka.
“Iya sayang. Maafkan kekhilafan papa yang telah mengusirmu. Mata hati Papa saat itu sudah dibutakan oleh setan. Sekarang Papa tidak masalah dengan penampilan kamu. Bagi Papa, kamu tetap Putri Papa, yang cantiknya tidak hanya di luar tetapi juga di dalam. Sekarang kamu bisa tinggal lagi di rumah dan melanjutkan kuliahmu seperti biasanya,” ayahnya menyambung pebicaraan mama Putri.
“Makasih Ma, Pa. Tapi jika nanti Putri pulang, izinkan Putri mengajak Aisyah tinggal di rumah kita. Dia yang sudah menjaga Putri selama sebulan ini, boleh?” Putri menatap kedua orang tuanya.
“Tentu boleh sayang,” jawab kedua orang tuanya serentak.
Sekarang Putri sudah mendapatkan kehidupannya kembali dengan tetap menjadi dirinya sendiri. Dia mendapatkan orang tua dan teman-temannya kembali. Teman-teman di kampus kini sudah menerima Putri seperti dulu, tidak terkecuali Sari dan Widia. Kini mereka pun sudah terlihat sering di mushala dan sudah berhijab. Apa yang diinginkan dan dicita-citakan Putri menjadi kenyataan.
Kebahagiaan kedua orang tua, sahabat dan Putri sendiri tidak berlangsung lama. Sebulan setelah kembali ke rumahnya, Putri meninggal dalam sebuah kecelakaan motor yang dialaminya. Saat itu dia sedang menyebrang jalan ke kampus, tiba-tiba saja ada sebuah sepeda motor yang melaju dengan cepat dan menabrak Putri yang saat itu sedang membaca buku sambil berjalan. Putri meninggal seketika itu juga. Kini Putri telah berpulang ke sisi Tuhan yang Maha Penyayang. Dia dipanggil setelah mendapatkan hidayah dan menemukan jati dirinya sebagai seorang muslimah. Namun, namanya akan tetap hidup di hati orang-orang di sekitarnya, orang tua, sahabat dan teman-temannya. Kepergiannya membuat kami merasa sangat kehilangan. Kelembutan dan ketulusan cintanya mampu menciptakan hidup yang nyaman bagi orang-orang yang sangat dicintainya. Semoga Putri dapat tersenyum bahagia di sisi Tuhan yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Amin.



Dari
Nur Aisyah



Tidak ada komentar:

Posting Komentar